Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Motivasi, Budaya Organisasi dan Kinerja

BAB I

Pendahuluan

Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja para pegawainya (job performance) atau hasil kerja yang dicapai oleh para pegawai dalam melakukan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pegawai merupakan sumber daya yang penting bagi organisasi, karena memiliki bakat, tenaga, dan kreativitas yang sangat dibutuhkan oleh organisasi untuk mencapai tujuannya.

Dewasa ini semakin disadari oleh berbagai pihak bahwa dalam menjalankan organisasi, manusia merupakan unsur terpenting sehingga pemeliharaan hubungan yang berkelanjutan dan serasi dengan pegawai dalam setiap organisasi menjadi sangat penting. Salah satu faktor yang dapat mendukung dalam mewujudkannya adalah faktor kepemimpinan, artinya adalah seorang pemimpin harus mampu menunjukkan perilaku serta suasana kerja yang dapat mendukung terciptanya sikap dan kinerja pegawai yang baik.

Kepemimpinan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan berorganisasi. Banyak gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk kemudian diterapkan oleh seorang pemimpin dalam organisasi yang dipimpinnya. Diantara teori kepemimpinan yang unggul adalah teori kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional adalah pendekatan kepemimpinan dengan melakukan usaha mengubah kesadaran, membangkitkan semangat dan mengilhami bawahan atau anggota organisasi untuk mengeluarkan usaha ekstra dalam mencapai tujuan organisasi, tanpa merasa ditekan atau tertekan. Seorang pemimpin dikatakan bergaya transformasional apabila dapat mengubah situasi, mengubah apa yang biasa dilakukan, bicara tentang tujuan yang luhur, memiliki acuan nilai kebebasan, keadilan dan kesamaan. Pemimpin yang transformasional akan membuat bawahan melihat bahwa tujuan yang mau dicapai lebih dari sekedar kepentingan pribadinya.

Gaya kepemimpinan transformasional diyakini oleh banyak pihak sebagai gaya kepemimpinan yang efektif dalam memotivasi para bawahan untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Menurut Bernard Bass (NN, 2009), dalam rangka memotivasi pegawai, bagi pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional, terdapat tiga cara sebagai berikut:

  1. Mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha.
  2. Mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok.
  3. Meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri.

Pemahaman akan pentingnya hasil usaha harus diterapkan kepada para pegawai. Dengan kata lain, orientasi proses mendapat prioritas dibandingkan dengan sekedar hasil. Kemudian, penekanan untuk mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan pribadi menjadi krusial mengingat hubungan yang baik dan iklim kerja yang kondusif menjadi perhatian utama dalam penerapan gaya kepemimpinan ini. Selanjutnya, mengingat kebutuhan bawahan bukan hanya materi, maka seorang pimpinan harus mampu mendorong pegawai untuk mempunyai kebutuhan yang lebih tinggi sesuai dengan kapasitas mereka.

BAB II

Teori dan Pembahasan

Kepemimpinan mengandung arti kemampuan mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Seorang pemimpin dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Banyak penelitian tentang kepemimpinan telah menguji hubungan antara kepemimpinan dengan kinerja pegawai. Yukl (2010) mengatakan, dalam teori path goal, kepemimpinan telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana perilaku seorang pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja pegawai. Hubungan antara Kepemimpinan dengan kinerja individu atau pegawai, dari hasil penelitian Sani dan Maharani (2012) ada korelasi positif, dimana kepemimpinan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Salanova et al (2011) dan Walumbwa dan Hartnell (2010) yang menunjukkan pengaruh positif kepemimpinan terhadap kinerja pegawai.

Seiring perubahan yang terjadi dalam organisasi, antara kepemimpinan dengan budaya organisasional mempunyai hubungan yang sangat erat. Kepemimpinan melibatkan lebih dari sekedar menggunakan kekuasaan dan menjalankan wewenang. Secara individu, kepemimpinan melibatkan pemberian nasehat, bimbingan, inspirasi, dan motivasi. Para pemimpin membangun tim, menciptakan kesatuan, dan menyelesaikan perselisihan di tingkat kelompok, dan pada akhirnya pemimpin membangun budaya dan menciptakan perubahan dalam organisasi (Melers et.al, 1998, dalam Kreitner dan Kinicki, 2010). Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya.

Sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian para pakar bisnis terhadap budaya organisasional sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari tulisan dari berbagai majalah maupun buku serta kegiatan seminar dan pelatihan-pelatihan. Kata budaya (culture) sebagai konsep berakar dari kajian atau disiplin ilmu antropologi, dan merupakan suatu identitas dari tiap-tiap bangsa. Budaya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia, yang terdiri pikiran, bahasa, perbuatan dan hasil-hasil budaya lainnya.

Budaya organisasional mempengaruhi cara mengerjakan segala hal dalam organisasi. Tidak berbeda dengan budaya yang mempengaruhi masyarakatnya, maka budaya organisasional juga akan mempengaruhi sikap dan perilaku semua anggota organisasi tersebut. Budaya yang kuat dalam organisasi dapat memberikan paksaan atau dorongan kepada para anggotanya untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi.

Banyak penelitian yang telah dilakukan mencatat bahwa perilaku pemimpin transformasional berpengaruh secara signifikan terhadap budaya organisasional. Menurut Bass dan Avolio (1990, dalam Yulk, 2007), budaya organisasional seringkali merupakan hasil kreasi para pendirinya. Secara khusus, kepemimpinan yang diterapkan para pendiri organisasi dan para penerus mereka membantu pembentukan budaya yang berkenaan dengan nilai-nilai dan asumsi-asumsi bersama yang dipandu oleh kepercayaan pribadi para pendiri dan pemimpin organisasi. Suryo (2010), dalam penelitiannya menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan transformasional, budaya organisasional dan inovasi terhadap kinerja mendapatkan temuan bahwa variabel gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap variabel budaya organisasional, temuan ini juga didukung oleh penelitian terdahulu oleh Ogbonna dan Harris (2000).

Dalam suatu organisasi, kepemimpinan yang baik juga selalu diikuti dengan komunikasi yang baik. Seorang pemimpin menurut Daft dan Marcic (2009), harus memfasilitasi berlangsungnya komunikasi terbuka dalam organisasi, aktif mendengar, melakukan dialog dan menggunakan feedback sebagai pembelajaran dan perubahan. Komunikasi merupakan hal mendasar bagi kehidupan setiap manusia, baik itu manusia sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial. Begitupun dalam kehidupan berorganisasi, tidak ada satupun organisasi yang dapat terbentuk tanpa adanya komunikasi di antara para anggotanya. Komunikasi yang tercipta di antara para anggota organisasi disebut dengan komunikasi organisasi.

Martinez (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan, kepemimpinan transformasional telah teridentifikasi sebagai suatu subjek terpenting dalam komunikasi organisasi, dimana mengakibatkan interaksi individu dalam organisasi menjadi lebih dinamis. Gaya kepemimpinan transformasional menunjukkan reaksi positif yang siginifikan terhadap komunikasi organisasi. Temuan ini juga didukung penelitian sebelumnya oleh Gilley et al (2009) bahwa salah satu kemampuan dan keahlian pemimpin dalam melaksanakan perubahan adalah komunikasi. Komunikasi yang baik dari seorang pemimpin akan memperkuat kepemimpinannya. Pada gilirannya kepemimpinan yang baik selalu diikuti dengan komunikasi yang baik pula. Jadi komunikasi dan kepemimpinan akan saling menarik secara positif.

Tujuan seorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasi. Namun demikian banyak problem organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yang seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan banyak penelitian menunjukkan kegagalan organisasi lebih sering disebabkan oleh permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz,1991). Permasalahan tersebut mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya budaya organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters dan Waterman, setiap organisasi mempunyai budayanya masing-masing. Tiap budaya tersebut dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasional. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para ahli telah meyakini keeratan hubungan antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sehingga hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi.

Dalam penelitian Suryo (2010), Pengaruh Gaya Kepemimpinan  transformasional, Budaya Organisasi dan Inovasi terhadap Kinerja, disebutkan bahwa Budaya organisasional memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja. Pernyataan ini didukung oleh penelitian terdahulu oleh Ogbonna dan Harris (2000), yang menyatakan bahwa bukti empiris yang menyarankan bahwa hubungan antara kepemimpinan dengan kinerja dapat di mediasi oleh bentuk budaya organisasional.

 Dalam proses selanjutnya, suatu organisasi juga harus memperhatikan komunikasi timbal balik antara pemimpin dan bawahannya, maupun yang sederajat secara baik dan harmonis. Praktik kepemimpinan seperti aktivitas pengambilan keputusan (dessicion making) serta hubungan manusiawi (human relationship) merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, saling bertautan, dan saling membutuhkan. Tanpa dikomunikasikan dengan baik tidak akan berfungsi dalam menggerakkan anggota organisasinya.

Komunikasi memungkinkan organisasi untuk berfungsi (Bovee dan Thill, 2002). Organisasi seperti metamorphosis berusaha keras agar komunikasi di dalam dan di luar organisasi terbuka, jujur, dan jelas. Keberhasilan yang dicapai bergantung pada kemampuan karyawan dan manajer berkomunikasi secara efektif. Komunikasi yang efektif terjadi jika individu mencapai pemahaman yang sama, merangsang pihak yang lain melakukan tindakan, dan mendorong orang untuk berpikir dengan cara yang baru. Kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif menambah produktifitas, baik individu maupun organisasi (Bovee dan Thill, 2002).

Martinez (2012), dalam penelitiannya, mengatakan bahwa komunikasi organisasi yang efektif dalah kunci keberhasilan pegawai dan organisasi. Pernyataan ini mendukung penelitian terdahulu oleh Gilley et al (2009), yang menyatakan bahwa ada identifikasi positif keahlian dan kemampuan (komunikasi dll) akan kesuksesan pelaksanaan perubahan, sehingga model komunikasi yang diterapkan oleh pihak manajemen mampu meningkatkan kinerja pegawai, dan dapat disimpulkan bahwa komunikasi organisasi secara positif dan signifikan akan meningkatkan kinerja pegawai.

Referensi:

Bovee, Courtland L. dan Thill, John V. 2002. Komunikasi Bisnis 1, Edisi Keenam. Jakarta: PT Prenhallindo.

Daft, Richard L. and Marcic, Dorothy. 2009. Management: The New Workplace, Sixth Edition. China: South-Western Cengage Learning

Gilley, Ann, Gilley, Jerry W., and McMillan, Heather S. 2009. Organizational Change: Motivation, Communication, and Leadership Effectiveness. Performance Improvement Quarterly, Volume 21, Number 4.

Koontz et. al. 1991. Manajemen. Cetakan ke-4. Jakarta : Penerbit Erlangga

Kreitner, Robert and Kinicki, Angelo. 2010. Organizational Behavior, Ninth Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin.

Martinez, Dario. 2012. Small Organizations Must Transition Into a Communication Style that Supports a Culture of Employee and Organizational Growth. http:// web02.gonzaga.educomlthesesproquestftpMartinez_gonzaga_0736M_10162 Diakses pada 11 Januari 2012

Northouse, Peter Guy. 2010. Leadership: Theory and practice. Los Angeles: SAGE Publications, Inc.

NN. tersedia di: http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/kepemimpinan-transformasional-dan.html. diunduh pada tanggal 19 Maret 2011.

Ogbonna, Emmanuel dan Harris Lloyd C, 2000. Leadership Style, Organizational Culture and Performance : Empirical Evidence From UK Companies. The International Journal Of Human Resources Management.

Peters, T.J. & Waterman, R.H. (1982), In search of excellence: lessons from America’s best-run companies. New York: Harper and Row.

Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. New Jersey: Prentice Hall International Inc.

Salanova, Marisa, Lorente, Laura, Chambel Maria J., and Martinez, Isabel M. 2011. Linking Transformational Leadership to Nurses’extra-role Performance: The Mediating Role of Self-efficacy and Work Engagement. Journal of Advanced Nursing.

Sani, Achmad dan Maharani, Vivin. 2012. The Impact of Transformational Leadership and Organizational Commitment on Job Performance with the among Lecturers of Faculty in the Islamic Maulana Malik Ibrahim Malang University: The Mediating Effects of Organizational Citizenship Behaviour. International Journal of Academic Research Part B.

Suryo, Bhikku Dharma. 2010. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional, Budaya Organisasi dan Inovasi terhadap Kinerja. Jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 8.

Walumbwa, Fred O. and Hartnell, Chad A. 2010. Understanding Transformational Leadership-Employee Performance Links: The Role of Relational Identification and Self-efficacy. Journal of Occupational and Organisasional Psychology.

Yukl, Gary. 2010. Leadership in Organizations, Seventh Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Tentang julrahmatiyalfajri

Lagi iseng nulis....
Pos ini dipublikasikan di Perilaku Organisasi. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar